Wednesday, May 21, 2008

Tiga Belas Cara Memandang Burung Hitam

Sajak Wallace Steven

I
Di antara dua puluh gunung bersalut salju
Tak ada gerak, kecuali satu:
Mata sang burung hitam.

II
Aku pun dengan benak tiga cabang
Seperti sebatang pohon
Ada juga di sana tiga burung hitam.

III
Burung hitam melayah angin musim gugur
Adegan kecil, dari sebuah gerak pantomim.

IV
Pria dan perempuan
satu jua.
Pria dan perempuan dan burung hitam
Satu, satu jua.

V
Mana yang lebih menyelerakan? Aku tak tahu
Apakah keindahan infleksi,
Ataukah kecantikan sampiran.
Siulan burung hitam
ataukah sepi sesudahnya.

VI
Tetes air beku menguntai di jendela
Pada kejam kaca.
Bayang-bayang burung hitam
Melintas jua di situ, menegasi bekas.
Suasana hati pun
Menjejak di bayang-bayang itu
Sebuah musabab yang tak terbaca.

VII
O segelintir kaum Haddam,
Kenapa kau imajikan burung emas?
Tak kah kau tampak burung hitam
Berjalan di seputar kaki
perempuanmu?

VIII
Aku tahu arti kehormatan
jelas sudah, irama tak terelakkan
Tapi aku juga teramat tahu
Burung hitam pun terlibat
dalam apa yang aku tahu.

IX
Ketika burung hitam terbang tak lagi terpandang
Ia menandai batas tebing
dengan satu dari banyak lingkaran.

X
Pada tatapan burung-burung hitam
Terbang dalam cahaya hijau
Bahkan carut-carut euphoni
akan meraung menyayat tajam.

XI
Dia memacu laju ke Connecticut
Dalam gerbong kaca
Sekali ketika, takut mencekamnya
telah salahkah dia
Bayang-bayang kuda bebannya
untuk burung-burung hitam.

XII
Sungai mengalur arus.
Burung-burung hitam memang mesti terbang.

XIII
Hari telah malam, seluruh senja.
Hari yang bersalju
Dan hari akan terus dikepung salju.
Burung hitam hinggap duduk
di cabang pohon cedar.