Thursday, September 30, 2004

Hikayat Petani Tomat

: Pakde GS, Yth.



/1/



"Buah yang paling nikmat adalah buat tomat,

buah yang paling sehat adalah buah tomat."



Tanpa seru debat, tanpa bertegang urat,

petani itu menyusun semacam postulat.



/2/



Dia memang petani tomat, petani yang cermat.

Kepada cuaca dia bersahabat, sehingga tak perlu

menebak-nebak kapan saat yang tepat untuk

menyemai benih yang sehat dan menyiapkan NPK,

serta tongkat untuk menyangga tangkai-tangkai

yang tumbuh bagai merambat-rambat.



Dia memang petani tomat, petani yang cermat.

"Nyanyian hujan dan aroma tanah

memberi semacam firasat,

semacam isyarat yang tak tercatat:

kapan harus menanam tomat," ujarnya

seperti telah menangkap sebuah makrifat.



/3/



Menjadi petani, itu kebahagiaannya dua kali lipat,

Pertama, saat pertumbuhan tanaman mulai terlihat

Kedua, ketika panen datang pada waktu yang tepat.



"Ada kenikmatan ketiga," ujarnya. Tapi biarlah itu menjadi

rahasia yang rapat, sebelum ditemukan kata yang akurat

untuk menyebutkannya dalam kalimat yang hebat.



/4/



Di akhir pekan, setelah panen tomat,

dia suka membawa berkeranjang-keranjang

buah tomat yang jingganya mengkilat-kilat.



Dia setir sendiri truk pikapnya sambil menyiulkan

sebait lagu Ebiet yang liriknya suka ia plesetkan,

"....aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani tomat."



Memang, antara cita-cita yang cuma hasrat,

dan hidupnya yang kini tersurat, suka ada

logika sendiri: alur nasib yang bikin terperanjat.



/5/



Kadang-kadang dia suka tersesat,

sampai ke kampus tempat dia dulu

menjadi mahasiswa yang taat,

rajin kuliah dan belajar hikayat tomat.



"Halo, Petani Tomat?" kata Dosen Pembimbingnya

yang dulu mengajarnya cara mengenali tomat.



"Habis panen ya, Sobat?" kata Teman Kuliahnya

yang kini jadi dosen dan membimbing mahasiswa

meneliti rahasia menanam dan merawat tomat.



Sambil senyum-senyum dia bagi-bagikan tomat panenannya.

Ternyata, mereka semua masih jadi penggemar tomat.

"Ayo bikin sambel, buat colekan pecellele. Pasti lezat..."

"Atau bikin jus. Supaya sariawan tidak kumat..."



Sambil senyum-senyum dia berbisik sendiri:

"Kasihan, mereka belum juga sadar,

masih terjerat dalam jeruji diktat...."
Hari Tak Bernama

Pada Kalender tak

Berangka Tanggal






0   0   0   0   0   0   0   0

0   0   0   0   0   0   0   0

0   0   0   0   0   0   0   0

0   0   0   0   0   0   0   0

0   0   0   0   0   0   0   0

0   0   hitung sendiri be-

rapa usiamu berlalu sia-

sia, berapa yang tersisa

Belajar

Bilang:

Halo...




1 2 3

4 5 6

7 8 9

* 0 #



...tapi, hei,

berapakah

sebenarnya

nomor

HP-Mu?
Jangan Engkau Mencoba

Menghubungi Aku Lagi!






/1/



missed calls: 1.000.000!



/2/



missed calls: 1.000.000!



/3/



missed calls: 1.000.000!

......



/1.000.000/



missed calls: 1.000.000!

Tuesday, September 28, 2004

Dan Nanti Kematian Itu Tak Berkuasa Lagi
Sajak Dylan Thomas

Dan nanti kematian itu tak berkuasa lagi.
Telanjang lelaki mati, bersatu nanti
Bersama lelaki di angin dan bulan barat;
Kelak tulang-tulang memutih dan menghilang,
Lihat, ada bintang di siku dan kaki;
Ketika dirudung marah, mereka jadi menyadari,
Ketika tenggelam di laut mereka bangkit lagi;
Ketika kekasih hilang, cinta akan tetap ada.
Dan nanti kematian itu tak berkuasa lagi.

Dan nanti kematian itu tak berkuasa lagi.
Di bawah kelok belit hembus angin laut'
Mereka terus berdusta, "tak kan mati begitu saja."
Meringkuk di para-para, ketika otot membuka,
Terjerat pada roda, masih saja tak terdera;
Keyakinan yang di tangan, kelak terderak dua,
Dan iblis kuda bertanduk tunggal berlari memburu;
Membelah, hingga mereka tak juga hendak retak;
Dan nanti kematian itu tak berkuasa lagi.

Dan nanti kematian itu tak berkuasa lagi.
Tak akan ada camar menangis di telinga
Atau ombak menghempas keras di sepanjang pantai;
Hembus pada bunga yang bukan lagi sekadar bunga
Mekar menengadah wajahnya ke deras hujan;
Selesai tuntas marah; mereka terpaku mati,
Kepala palu, berlalu di padang bunga daisi;
Mekar di matahari, hingga sang matahari tenggelam,
Dan nanti kematian itu tak berkuasa lagi.


And Death Shall Have No Dominion

And death shall have no dominion.
Dead men naked they shall be one
With the man in the wind and the west moon;
When their bones are picked clean and the clean bones gone,
They shall have stars at elbow and foot;
Though they go mad they shall be sane,
Though they sink through the sea they shall rise again;
Though lovers be lost love shall not;
And death shall have no dominion.

And death shall have no dominion.
Under the windings of the sea
They lying long shall not die windily;
Twisting on racks when sinews give way,
Strapped to a wheel, yet they shall not break;
Faith in their hands shall snap in two,
And the unicorn evils run them through;
Split all ends up they shan't crack;
And death shall have no dominion.

And death shall have no dominion.
No more may gulls cry at their ears
Or waves break loud on the seashores;
Where blew a flower may a flower no more
Lift its head to the blows of the rain;
Through they be mad and dead as nails,
Heads of the characters hammer through daisies;
Break in the sun till the sun breaks down,
And death shall have no dominion.

Monday, September 27, 2004

[Ruang Renung # 90] Serbuan Kata, Perjalanan Puisi

PADA Januari 2002, penyair D Zawawi Imron diundang membaca puisi dalam festival Winternachten, festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag. Selama mengikut festival itu dia pun berkeliling ke kota-kota lain di Belanda, Tilburg, Leiden, dan Amserdam. Yang patut diteladani dari penyair yang tetap tinggal di Batang-batang - kampung kelahirannya - adalah selama tiga belas hari di sana dia menulis tiga puluh puisi. Lalu sepulang dari festival itupun dia terus menulis puisi yang katanya tak mungkin lahir kalau dia tidak berkunjung ke Belanda.



PUISI-PUISI itu (102 jumlahnya) dapat kita baca dalam satu buku Refrain di Sudut Dam (Bentang, Yogyakarta, 2003). "Menulis sajak-sajak tentang Negeri Belanda saya tidak bermaksud untuk jadi Belanda. Bahkan, saya tak ingin menjadi orang lain yang bukan diri saya," tulis sang penyair dalam pengantar buku dan tentu saja pengantar puisi-puisi dalam buku itu.



KARENA ia bertolak ke Belanda dibiayai orang lain, maka kunjungan itu tidak boleh sia-sia, ujarnya. Harus ada pengalaman yang bermakna. "Yang antara lain ialah dengan menulis. Mengabadikan kesaksian-kesaksian," lanjutnya.



DEMIKIANLAH, pada dasarnya hidup memang perjalanan-perjalanan yang sambung-menyambung, yang tak henti-hentinya. Menulis puisi adalah mengabadikan kesaksian-kesaksian - dan kesia-siaan - di sepanjang perjalanan tersebut. Tetapi, hidup juga perjalanan yang dirudung ragu. Bagi kita yang hendak menulis puisi, ragu itupun bagian dari perjalanan hidup yang harus diberi kesaksian. "Di Den Haag,...saya agak ragu, apa mungkin saya bisa membuat puisi tentang kehidupan Negeri Belanda. Tetapi kadang-kadang saya tidak bisa membendung bayang-bayang ilham dan kata-kata yang menyerbu hati dan angan-angan," ujar Zawawi.



KARENA itu ia pun menulis, tersendat, dan terus menulis. Mungkin begitulah yang harus kita lakukan juga. Begitu banyak kesaksian-kesaksian yang harus kita berikan. Ini bukan sok hebat. Tidak ada yang memaksa kita untuk menulis puisi, bukan? Artinya, kalau kita tidak ingin menulis puisi sebagai bentuk kesaksian itu, ya juga tidak apa-apa. Tetapi, kalau kita memilih puisi, maka kita harus bertanggung jawab padanya. Apalagi kalau kita diserbu kata-kata, dan bayang-bayang ilham. Keterlaluan kalau kita tidak melayani serbuan itu.[hah]

Friday, September 24, 2004

[Ruang Renung # 89] Memberi Ruh Kepada Puisi

Taman Jepang, Honolulu

Sajak Sapardi Djoko Damono



inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:

jalan setapak yang berbelit, matahari

yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air

yang membuat setiap jawaban tertunda




MARI kita rasakan kehadiran "roh" dalam puisi di atas. Penyair tidak lagi berbicara atas nama dirinya. Dia tidak sekadar melukis sebuah pemandangan. Dia juga tidak lagi bicara soal ketakjubannya sendiri ketika melihat sebuah pemandangan yang menentramkan. Sebuah hutan kecil, matahari, ricik air. Penyair memulainya dengan pertanyaan: inikah ketentraman? Bertanya berarti mencari jawaban. Bertanya berarti tidak yakin dengan apa yang sedang hendak disimpulkan.



Sebagai pembaca kita tentu bernafsu untuk mencari jawab atas pertanyaan itu. Kita pun terus membaca. Lalu, hei, sepertinya penyair memang menyiapkan jawaban dengan menyusun sejumlah imaji yang utuh: sebuah hutan kecil. Jalan kecil yang berbelit. Dan yang paling indah adalah frasa "matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga". Saya kira frasa ini hanya bisa tercipta dengan ketajaman intuisi penyair, dan keberhasilan membebaskan imajinasi. Lalu hadir ricik air. Yang membuat setiap jawaban tertunda. Inilah frasa akhir yang membuat puisinya lengkap, sempurna. Ada jata setiap, artinya ada banyak jawaban. Tapi tak penting lagi apakah jawaban itu ya atau tidak, benar atau salah. Semua tertunda. Kita diminta untuk larut saja dalam imaji indah yang sederhana yang disusun penyair untuk menjawab, "inikah ketentraman?" Tak ada jawaban. Dan itulah jawaban.



Ada kekuatan imajis dalam puisi. Ada daya bahasa yang bisa membuat kita bercerita banyak, memaknai banyak pada sebuah puisi. Tak peduli panjangkah atau pendekkah ia. Kekuatan itulah mungkin yang menjadi ruh dalam puisi. Yang membuat puisi bukan sekadar tipu daya atau keterampilan penyair yang bermaksud menyampaikan A tapi bilangnya B, sambil memberitahu pembaca bahwa dia memang hendak bilang A. Ruh itu juga tidak hadir dalam puisi yang hanya berisi jejalan petuah basi, nasihat lapuk, pesan moral klise, atau ajakan posterik untuk memberontak.[hah]



Thursday, September 23, 2004

Gerak Pena

Sajak Pablo Neruda



Tinta yang merasuk ke dalamku masuk

menitik setetes, lalu setetes

dan mengalir berpandu jejak-jejak

yang berdalih dan yang takberalasan

seperti parut lebar yang nyaris

terlihat ketika tubuhku terlelap

dalam pidatonya: khotbah penghabisan.



Lebih baik, mungkin bila

seluruh inti inginmu

mengering kosong ke dalam satu tetesan

lalu ia hadir sendiri dalam satu halaman

menjadi noktah: sebuah bintang hijau

dan hanya itulah sebuah noktah

yang pernah ada kutuliskan

di segenap hidupku,

tanpa alfabet tanpa penafsiran:

satu-satunya gelap gerak pena

tanpa kata-kata.





The Stroke



Ink that entrances me

drop by drop

and goes guarding the trail

of my reason and unreason

like a large scar that’s barely

seen when the body’s asleep

in its discourse of dissolution.



Better perhaps if

all your essence

were to have emptied in one drop

and thrown itself on a single page

stained it with a single green star

and that only that stain

were to have been all

I had written in the whole of my life,

without alphabet or interpretations:

a single dark stroke

without words.



From: ‘Las Manos del Dia'

Tuesday, September 21, 2004

[Tentang Puisi] Sebagai Tujuan, Sebagai Sarana



SAJAK ditulis sekurang-kurangnya karena dua alasan. Yang satu adalah dorongan hati penyair untuk mengejawantahkan kemampuan mencipta, merealisasikan bakat dengan mewujudkan sebuah karya puitis, mencapai kepuasan karena memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam pertinggal dari perasaan dan pengalamannya atau rapot bakat dan kemampuannya.



YANG kedua, sajak dimanfaatkan ---karena kemungkinan puitis yang ada padanya--- sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Sajak, seperti juga kata dan bahasa dapat menjadi tujuan dan dapat pula diperlakukan sebagai sarana.



* Ignas Kleden, dalam pengantar untuk buku puisi Di Bawah Rimba Bayang-bayang Mochtar Pabottingi.



[Tentang Puisi] Mengolah dan Menyaring



DENGAN perkataan yang lebih umum, pekerjaan penyair bukanlah sekedar mengkomunikasikan perasaan dan pengalaman, tetapi mengolah pengalaman dan perasaan tersebut melalui proses penyaringan psikologis yang kita kenal sebagai sublimasi, sehingga sebatang tangkai kering di pinggir semak berubah menjadi hiasan meja yang unik di sebuah gedung tinggi.



* Ignas Kleden, dalam pengantar untuk buku puisi Di Bawah Rimba Bayang-bayang Mochtar Pabottingi.







Salvador Dali - Geopolitical Child Watching the Birth of the New Man 1943.



[Tentang Puisi] Otentisitas dan Orisinilitas



SEMENTARA itu kita tahu otentisitas dari message dan orisinalitas dari medium merupakan syarat minimum untuk lahirnya puisi yang berhasil.



* Ignas Kleden, dalam pengantar untuk buku puisi Di Bawah Rimba Bayang-bayang Mochtar Pabottingi.

Monday, September 20, 2004

Karikatur Kuala Lumpur

Dia tersasar dalam gambar karikatur, di Kuala Lumpur.

Tanpa paspor. "Awas! Ada karet penghapus. Kau cuma

membuat gambar jadi kotor!" Ini negeri: jiran yang sedang

gemar berpupur. Di antara dua menara, gundahmu kembar:

Di rumah, kemarau tak juga kelar; Di sini, lebat hujan batu

dalam jeruji lokap - pintunya menyilakanmu semakin lebar.



Dia terdampar dalam karikatur. Gambar. Kertas menguning

pudar. Sewarna kari diolah wanita Langsa, di restoran Cina.



Dia terlempar ke dalam gambar. Sebuah karikatur. Datok Lat!

Ajari kami jadi pintar. Pahit kelakar, tukar hati yang hambar.

[Ruang Renung # 87] Menyimak Pinurbo Terbatuk-batuk

Batuk

Sajak Joko Pinurbo



Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu

untuk menggempur limbah waktu

yang membatu di rongga dadaku.



(2004)



SAJAK "Batuk" ini saya temukan di buku terbaru penyair Joko Pinurbo "Kekasihku" (Gramedia, 2004). Karlina Supeli, dosen di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara yang ditodong memberi pengantar pada buku itu menyebut bagi Joko tampaknya tak ada peristiwa atau benda yang seakan tidak mengandung makna. Pengalaman sederhana membentangkan lipatannya. Ia mencontohkah sajak "Batuk" ini.



KENAPA "Batuk"? Baiklah kita belajar membuka lipatan pada sajak tiga baris itu. Batuk oleh sang penyair diorangkan. Tugas penyair - jika menurut kredo Sutardji - membebaskan kata dari belenggu makna ditunaikan dengan baik oleh Pinurbo. Lihat saja, "batuk" tak lagi terbelenggu pada pengertian sebagai sebuah gangguan tenggorokan. Ia telah menjelma jadi sesuatu atau seseorang. Kepada siapa penyair meminta letusan-letusan lembutnya. "Beri aku...." kata sang penyair. Letusan yang diminta tentu bukan lagi sebuah kejutan sebagaimana letusan yang tidak diminta. Letusan lembut? Ah, betapa kata telah diolah lagi sedemikian intensifnya.



UNTUK apa? "Menggempur limbah waktu..." Ya, batuk jika dikembalikan ke penjara makna umumnya, adalah penyakit. Penanda orang telah jadi tua. Sakit dan tua adalah penanda maut yang semakin dekat. Akhirnya semuanya berujung pada hakikat waktu. Tapi, hakikat itu pula yang paling sering kita lupa. Itulah yang perlu digempur, digedor, diingatkan. Karena keasyikan pada hidup yang menghanyutkan kadang-kadang membuat manusia lupa. Ingatan yang membeku "....membatu di rongga dada."



ITULAH yang oleh penyair mesti diingatkan lagi. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Digempur dengan letusan-letusan lembut Sang Batuk.[hah]



Saturday, September 18, 2004

Soneta Cinta ke-26

Sajak Pablo Neruda



Aku tak mencintamu jikalau kau mawar, ratnacempaka,

atau panah bunga anyelir yang menghembus padam api,

Aku mencintamu bagai yang gelap yang mutlak dicintai,

dalam rahasia, antara dua: bayang-bayang dan jiwa.



aku mencintaimu bagai tanaman yang tak pernah berbunga

tapi dibawanya cahaya sendiri: bunga yang tersembunyi;

terima kasih atas cintamu, wangi yang penuh yang memasti

merebak dari bumi, dalam gelap ia tumbuh dalam tubuhku.



Aku mencinta tanpa aku tahu kenapa, bila mana, dari mana.

Aku mencinta apa adamu, tanpa kerumitan atau bangga diri.

Maka aku mencintamu, sebab tahu tak ada selain cinta itu,



selain cinta: bahkan tak ada aku, juga tak ada engkau,

teramat karib - tanganmu di dadaku adalah tanganku,

teramat dekat - matamu memejam bila aku didekap lelap.



Sonnet XXVI





I do not love you as if you were salt-rose, or topaz,

or the arrow of carnations the fire shoots off.

I love you as certain dark things are to be loved,

in secret, between the shadow and the soul.



I love you as the plant that never blooms

but carries in itself the light of hidden flowers;

thanks to your love a certain solid fragrance,

risen from the earth, lives darkly in my body.



I love you without knowing how, or when, or from where.

I love you straightforwardly, without complexities or pride;

so I love you because I know no other way



than this: where I does not exist, nor you,

so close that your hand on my chest is my hand,

so close that your eyes close as I fall asleep.





* Alihbahasa ke

Bahasa Inggris

oleh Stephen Tapscott










Friday, September 17, 2004

Suatu Senja, Suatu Pattaya

Dia datang ke Pattaya sebagai nelayan keletihan, sia-sia berlayar

lautnya diogahi ikan-ikan, jaringnya dikoyak-koyak ombak liar.

Kantuk telah sampai ke kakinya. Masih dicari-carinya: sebuah pelatar

tempat senja datang, dan dia duduk menggambar, perahu turun layar.

Dia datang ke Pattaya sebagai nelayan lelah. Kepada dongeng menyerah,

"Nenek moyangku orang pelaut. Direnggut maut." Menderas arus darah.

Peta samudera di tubuhnya memang belum lengkap. Artinya: dia belum kalah.

Tapi, pantai cuma menjual bikini, di sini. Ombak banci. Tombak tak lagi terasah.

Dia datang ke Pattaya sebagai nelayan sendiri. Kapal kandas dalam tualang

malam hari. Hujan hanya turun tak peduli apa yang dibasahi. Nyiur di sepanjang

pantai tak melambai. Tak juga bisik raja kelana. Tanah air? Ujarnya, "Hilang!"

Seorang Lelaki dan Dua Telepon Genggam

Begitulah, lelaki itu melaksanakan hidupnya.



"Telepon genggam diciptakan agar

sempurna sejumlah kebohongan," begitu selalu

diucapkannya kepada dua telepon genggam

terbaru yang jadi andalannya, yang ada kameranya

sehingga dia pun sukses memacari

beberapa perempuan sekali jalan.



Begitulah, lelaki itu menyelenggarakan hidupnya.



Dua telepon genggam kesayangan

tak pernah ketinggalan. Waktu jalan-jalan,

atau sekadar tidur-tiduran, telepon genggamnya

siap menerima panggilan. Dia suka memotret

suara dusta yang macam-macam warnanya.

Dia pun siap dengan serangkaian cerita karangan,

sebagai pilihan jawaban kalau salah satu pacarnya

bertanya, "Kamu dimana, sayang? Lagi ngapain?

Kamu kangen aku nggak?"



"Komunikasi itu penting banget, tapi

kebohongan jauh lebih penting," ujarnya.



Pada suatu malam, lelaki itu tidur nyenyak sekali.

Ngoroknya, bikin ringtone jadi ngiri. Nyaring sekali,

dua telepon genggamnya tampak saling mendekati,

lalu bisik-bisik seperti mengatur runding serius sekali.



Keesokan harinya, sang lelaki heran. Teleponnya

tiba-tiba jadi ngawur. Maksudnya mau bilang

"Hai, Sayang!" kepada pacar yang A, eh malah nyambung

ke yang B. Mau kirim SMS ke pacar simpanan yang C, lho

kok malah dibalas sama gandengan yang D. "Waduh,

pasti ada sabotase, nih! Telepon tak bisa lagi dipercaya,"

ujarnya putus asa.



Akhirnya, dengan kecewa, dia pergi ke toko telepon genggam

langganannya. Lalu dijualnya kedua telepon model

terbaru yang jadi andalannya itu. "Saya mau barter dengan

telepon model lama saja. Yang jujur dan bersahaja...."



"Waduh, kalau yang model seperti itu nggak ada lagi, Bos!

Sudah langka," ujar si penjaga toko. Betapa masygulnya.

Padahal dia tidak tahu, si penjaga toko telah pula menipunya.



Re: Ambigu

Sajak Hasan Aspahani



aku kabut, kau langit

hati kalut melepas jerit

hilang, pergi, tak kembali

tertawan, tak ingin mencari....



Ambigu

Sajak Sam Haidy



Kau langit, aku laut.

Menjepit biru kabut.

Hitam, putih, abu,

tercermin satu!

Thursday, September 16, 2004

Bait-bait Bangkok

Suhu panas yang diramal di Donmuang, meleset,

Seperti travel bag, semua kabar tentangmu kuseret.

Ini cuma singgah. Persiaran yang mendaur greget,

Tapi, kau Bangkok, di baliho perempuan kau potret.

Aku tak tahu: kau sebut tamu, turis atau pencopet?

Sebab aku datang, dan tak kuberi tahu isi dompet.

Sedang Rewat Panpipat membenci hidup yang macet.

Bergegas ke Chantraburi tanpa sebait sempat tercoret.

Di tubuhnya Chao Phraya, tak kulihat bidadari mandi

Hanya remang rintih pesut betina yang sia-sia kucari

Mengepung: Bhat. Yang mengapung: wajahku sendiri.

Di lorong-lorong Phatphong, kau berterus terang pada kami:

Menu yang tak pernah tercatat pada restoran penuh terisi.

Gelap yang lengkap untuk trik sulap: Nah, kalian kudustai!

Wednesday, September 15, 2004

Interlude

Sajak Amy Lowell



Setuang kueh matang sudah terpanggang

Sangrai kacang almon kutabur kutebar;

Ranum strawberi: petikkan saja hijau mahkotanya

lalu atursajikan, membasung, di piring biru dan kuning;

Helaian linen telah pun rapi, halus kukelim;

Lalu setelah itu?

Esok, kelak pun sama serupa:

Kueh dan buah strawberi,

Jarum menjelujur, masuk keluar sekujur.

Ketika surya tampak begitu indahnya jatuh pada batubata,

Bulan ternyata jauh lebih mempesona,

Sinar diagonal menembus cabang-cabang plum;

Sang bulan,

Masih bertahan,

Di atas wajahmu.

Engkau perpendar, Sayang,

Engkau dan sang bulan.

Tapi manakah yang sekedar bayang?

Jam sebelas berdentang.

Kukira, ketika tirai turun dan kita tutupkan pintu,

Malam akan bersalin pada kelam.

Tapi tidak di ruang dalam.







Interlude



When I have baked white cakes

And grated green almonds to spread on them;

When I have picked the green crowns from the strawberries

And piled them, cone-pointed, in a blue and yellow platter;

When I have smoothed the seam of the linen I have been working;

What then?

To-morrow it will be the same:

Cakes and strawberries,

And needles in and out of cloth

If the sun is beautiful on bricks and pewter,

How much more beautiful is the moon,

Slanting down the gauffered branches of a plum-tree;

The moon

Wavering across a bed of tulips;

The moon,

Still,

Upon your face.

You shine, Beloved,

You and the moon.

But which is the reflection?

The clock is striking eleven.

I think, when we have shut and barred the door,

The night will be dark

Outside.




Tuesday, September 14, 2004

[Ruang Renung # 86] Apa yang Kubaca?

Dapat honor tulisan Rp200 ribu. Sebagian besar saya belikan buku. Dari buku kembali ke buku. Begitulah mungkin rumusnya. Maka kini di tanganku ada "Kekasihku" Joko Pinurbo, "Puisi Mbeling" Remy Sylado, dan "Di Bawah Rimba Bayang-bayang" Mochtar Pabottingi. Plus satu buku Gede Prama yang kebetulan juga ada lembar puisinya.

Monday, September 13, 2004

Mobil Boks Kelewatan

: Teror 9/9



Rasanya pernah kulihat mobil boks itu lewat,

di depan kantor polisi, waktu aku lagi ngurus SIM

yang sudah lama mati. "Lihat, teroris lewat!" begitu

kalimat yang tak sengaja saja kusebut. "Oh, mereka mau

ngopi sama polisi," sahut orang di sebelahku, dia yang

lagi lapor kehilangan KTP. "Tenang, Pak. Situasi

menjelang pemilihan presiden sedang aman terkendali,"

kata Mas Polisi, mengutip kata-kata yang nyaris basi.



Sepertinya pernah kulihat mobil boks itu lewat,

di depan pusat perbelanjaan. Aku waktu itu sedang

mencari bacaan. Eh, malah beli puzzle alias permainan

susun ulang, bergambar 2.000 potongan tubuh.

"Lumayan, buat tebak-tebakan di pos perondaan,

daripada teledor kecolongan," kataku waktu

membayar ke kasir yang menghitung harga

dan uang kembalian, sambil kelupaan memberikan

senyuman. Kasihan. Keletihan.



Kayaknya pernah kulihat mobil boks itu lewat,

di sebuah kos-kosan. "Ngangkut apa, Mas Teroris?"

kataku bertanya sekenanya. "Ini sulfur dan TNT.

Buat bikin ledakan, di kantor kedutaan. Tapi,

jangan bilang-bilang, ya. Nanti nggak lagi jadi kejutan,"

ujar Mas Supir sambil menurunkan barang belanjaan.



Lalu, sumpah mampus! Aku sekarang tak ingin

melihat mobil boks itu lagi. Aku ingin situasi yang

aman dan terkendali bukan lagi basa-basi. Aku tak

ingin main tebak-tebakan. Aku tak ingin kejutan.

Tolong. Aku tak main-main, kuminta hentikan

main-main kalian. Bercanda kalian. Keterlaluan kalian.

[Ruang Renung # 85] Jalan-jalan, dan Sialan.

SAYA dapat hadiah jalan-jalan. Dari Singapura hingga Thailand, lewat Malaysia sama rombongan teman-teman wartawan. Kepada puisi, saya sudah pamitan. "Sori, ya kawan, saya tidak akan ketemua kamu di sepanjang perjalanan ini. Saya capek. Saya cuma mau jadi wartawan," begitu kata saya sebelum bepergian.



Tapi, ah dasar nasib lagi sialan. Tiba-tiba saja ada kabar yang teramat puitis. Munir mati di pesawat waktu mau bepergian ke Belanda. Dia mau kuliah lagi ke sana, katanya. Tiba-tiba saja, puisi jadi punya alasan untuk dituliskan. OK-lah, kata saya. Kau kutuliskan. Sekali ini saja untuk bulan September sampai penghabisan. Setelah itu, sori aku mau bikin kartun saja. Mumpung habis memborong buku Lat di Johorbaru. Tapi, tiba-tiba saja, bloooom! Ada bom di Kuningan. Tepatnya di depan kedutaan. Lagi-lagi, saya puisi menggoda untuk dituliskan. Begitulah. Tampaknya saya belum bisa menghindar dari "jeratan".

Thursday, September 9, 2004

Orang Hilang di Pesawat Terbang

: Munir



Seperti engkau, aku juga tak sempat mendarat,

kita kini bisa bilang: Kami orang-orang hilang!



Di sini banyak sekali tiang, entah apa yang ditopang,

di sini banyak sekali lubang, entah apa hendak dibuang.

Aku berlarian ke halaman sekolah tanpa ketakutan,

bermain sembunyian: yang kalah mencari sendiri,

yang di balik gelap memicing mata di teropong senjata.



Seperti engkau, aku juga ingin sementara saja pergi,

agar bisa bilang: Tunggu, tunggu. Aku pasti pulang!



Aku sejak dulu suka pesawat terbang:

tempat persembunyian paling sempurna.

Bisa ke Swedia, Belanda dan Singapura.

Negeri-negeri yang hendak kutaklukkan,

Aku sejak dulu suka pesawat terbang:

dan engkau sembunyi selamanya di sana,

lalu kau bilang: Nah, kalian tak bisa

mencariku lagi, Saudara.



Seperti engkau, ada yang mungkin tetap kita

rahasiakan. Tunggu, bila kelak aku tak perlu

lagi sembunyi: di sana kita diskusi, tentang

kehilangan dan dikalahkan. Diri sendiri.