Saturday, September 27, 2003

Akulah Pelukis, Penggubah Gambar*

Akulah pelukis, penggubah gambar-gambar;

Setiap waktu, bentuk-bentuk indah kulakar,

Lalu tersebab hadirmu, semua kelebur kubiar.

Kuseru beratus khayal, lalu kuhidupi dengan jiwa,

Ketika tersentuh engkau, kubakar pada api bara.



Kau sahabat penuang piala? Para saudagar anggur?

Ataukah musuh bagi mereka yang tenang datar?



Setiap rumah kubangun, engkaukah si penghancur?

Padamu jiwa menyatu, denganmu jiwa erat membaur.

Wahai, kuhargai jiwa, sebab wewangianmu telah kupunya.

Padaku mengalir darah, pada debumu tetesnya bertanya:

'Aku sewarna dengan cintamu, pasangan kekasih jiwa.'



Di rumah: air dan tanah, tanpamu hati terkurung terbiar.

Wahai, kekasih, masuklah, atau kutinggal saja terlantar.



Dari Divan-e Shams, syair ke-34, Jalaluddin Rumi

* judul dari HA










Friday, September 26, 2003

Dari Masam dan Pahit, Menuju Manis Rasa

Andai pohon itu dapat berlari dan terbang mengepak
Ia tak menanggung sakit tersebab gergaji dan kapak

Andai sayap dan kaki matahari tak mengitari malam,
Apa yang menyinari dunia di pagi yang pasanga dalam?

Andai laut tidak menguapkan asin airnya ke langit,
Bisakah hujan dan sungai memacu kebun tumbuh bangkit?

Ketika setetes meninggalkan rumah lalu kembali pulang,
Ia menjadi mutiara setelah menemukan nyaman cangkang.

Bukankah Yusuf bertolak tinggalkan Bapanya bertangisan?
Bukankah ia menjemput keberuntungan, kerajaan, kemenangan?

Bukankah Muhammad berhijrah ke kota Madinah,
Menyebar kedaulatan dan ajaran ke ratusan wilayah?

Meskipun engkau tak berkaki, bertualanglah ke dalam diri,
Bagai tambang permata rubi, menerima jejak dari matahari

Mengembaralah O, tuan, dari luar diri, ke diri sendiri
Penjelajahan itu: bumi menjadi tambang emas murni.

Dari masam dan pahitnya, menuju pada manis rasa
Dari tanah yang asin, ribuan buah semi berbunga.

Pada Matahari, pangeran Tabriz, menggenggam keajaiban,
Pada setiap pohon, dari matahari terpetik kejelitaan.


Divani Shams KE-27 Jalaluddin Rumi
* Judul dari HA

Wednesday, September 24, 2003

Bernaung di Teduh Bayang Payung Kembang*

Ada suatu malam, yang membuka pikir, jatuh aku tak sadar

Mereka katatan seiris sabit, bagiku purnama terang berpendar

Ada suatu malam, ketika kekasih mengada di tengah kita

Malam bagai seratus siang yang membuka terangnya.



Di sekitar kita, hukum kausalitas pun mandul, rusak

Ketika kau sebut rindu pada sang Kausa Pertama,

Kemelaratan si penadah sedekah tak hendak mengelak

Kesukaran mereka, disusurinya dengan bangganya



Di dunia ini tercapai puncak kebangkatan kita

hingga pikiran lain dan Hari Kiamat melindap

Menetap dalam berkah Tuhan yang tak sudah-sudah

Anugerah yang hendak ditolak semua makhluk lainnya.

Semesta dunia menyerupa Sham-e Tabriz

Bernaung di bawah bayang teduh payung kembang.



(Divan-e Sham, syair ke-24 , Jalaluddin Rumi)

* Judul dari HA



Monday, September 22, 2003

Rapatkan Mulut Seperti Penyelam di Laut*

Kau pejam mata menandai saat tak lagi jaga

Itu lelap? Bukan, itu saat musuhmu waspada.



Kau tahu yang di pelupuk kami tak mengawasinya

Masih bergesa mata, mabuk, alangkah, dalamnya.



Perlakuanmu keliru, tapi itu yang pasrah kuterima

Kesalahanmu, seperti berkah Tuhan, kusambut gembira.



Banyak kepala tertunduk, ketika pandang bertepuk

Tersayat oleh tajam, tetes-tetes air, kau pun takluk .



Duh, dua mataku badai lautan darah

Dunia-dunia terhancur dalam amuk bah.



Kadang darah kehausan, pesan tuhan terkabar

Ada penuang piala, anggur, semerah darah segar.



Anggur dan penuang piala? Jejak Tuhan jua.

Tuhan hanya tahu, cintaku ini bermakna apa.



Di dapur hati, anggur dan santap kita nikmati

Lalu seluruh kota mengendusi isyarat wangi.



Rapatkan mulutmu seperti penyelam di laut

Hanya di dalam air, hidup ikan berlanjut.



Dari Divani E-Sham, Jalaluddin Rumi.

* Judul dari HA.



Sunday, September 21, 2003

Bisikan Kekasih

Kekasih berbisik ke telingaku,
     "Menjadi mangsa lebih baik daripada seorang pemburu.
      Jadikanlah dirimu hambaku.
      Jangan lagi mencoba menjadi matahari, jadilah senoktah noda saja!
      Tinggallah di Pintuku dan pergi jauh dari rumah.
      Jangan menyaru jadi sebatang lilin,
      maka kau akan mengecap nikmatnya Kehidupan
      dan menemu kekuatan tersembunyi di balik penghambaan."

Jalaluddin Rumi, Matsnawi V. 411-414

Thursday, September 18, 2003

Aku Malu Sama Iklan, Tuhan

aku sudah kunyah

remote control

tak juga muntah

dia: televisi tolol



aku takut pulang

di rumah ada siaran ulang

pemakaman nabi-nabi

televisi tak mati-mati

aku tak berani

nonton diri sendiri



aku malu sama iklan, Tuhan



sep2003

Monday, September 15, 2003

Bla Bla Bla Suatu Pagi

di selokan yang sering mampat dan kotor itu ada bungkus deterjen yang suka nyangkut dan menyumbat air yang selalu ingin bergegas lewat dan ada buih yang sepertinya pernah mengenal bungkus deterjen itu yang terapung di atas air kotor yang hangatnya belum berubah banyak setelah membilas pakaian di dalam mesin cuci di rumah tepat di ujung blok perumahan sebelum selokan ini patah berbelok menuju sungai menjemput laut lepas membakakan kesementaraan



di selokan yang sering mampat dan kotor itu ada lelaki yang selalu lewat tergesa-gesa setiap pagi, dengan baju terseterika rapi dan beraroma wangi dan ia tak sempat melihat bungkus deterjen yang nyangkut dan menghalangi sisa-sisa buih yang menduga pernah begitu dekat dengan bungkus deterjen itu dan hanya ada pantulan bayangan sekilas ketika lelaki itu berbelok tepat di ujung blok perumahan lalu menuju pangkalan taksi menunggu jemputan dan entah kesementaraan apa yang hendak dibakakannya



Sep 2003



Sunday, September 14, 2003

Sajak September

tinggal hitam

pada kalender



angka menjebak

tak tertebak



tanggal redam



hari-hari

melupakan

nama diri

nama sendiri



sep 2003

Demam yang Sentimentil

INI demam yang sentimentil



39 derajat celcius pada termometer

radang pada tenggorokan

sekantong puyer antibiotik

sirup penurun panas, 15 mililiter sebotol kecil

beri dulu bubur encer

dongeng televisi:

obat bermerek yang khasiatnya sakti



INI demam yang sentimentil



MANDI air rendaman lalambai

sepanjang siang dilapai salawat,

daun raja bangun

demam ditamba, ditawar air kelapa muda

telur rebus ayam dara

susu encer cap bendera

di luar hujan kesepian tak ada kawan

belibis di rawa, sejinak udara

terbiar tempia terbuka jendela

dongeng hantu barbiaban di pohon kariwaya



INI demam yang sentimentil



Sep 2003



Wednesday, September 10, 2003

Son

Sajak Anggoro Saronto

: Hasan Aspahani and his son



Cerlang mata, matahari yang didulang semenjak pagi. Ombak yang menepi

pada pinggiran dahi. Lengkung pelangi berselancar pada lengkung alis.

Nyiur menitipkan kesiur angin pada hembus halus nafas. Ada dunia

dalam mungil dada



transparan hingga kita bisa berkaca masa yang pernah terlewati. Ruang

polos sedemikian los tanpa sekat prasangka. Sebuah buku kosong

menanti untuk diwarnai. Jemari asam dan tua memegang kuas. Cat warna

berjajar memias seperti kertas menanti dipulas. Sapuan tipis warna

dasar adalah tuntunan menggambar dunia



gedung hijau, gunung kuning, pohon jingga. Betapa imaji kanak-kanak

menuntun jemari. Jemari tua sesamar bayang pada pohon jingga. Tak

kentara, tapi selalu ada. Dalam setiap goresan akan selalu tercantum

nama pengukir jiwa. Setiap arsir daun adalah desir keinginan. Menjadi

cemerlang sebuah lukisan masa mendatang.



Muria Ujung, Agustus 2003











Tuesday, September 9, 2003

Ode Bagi Pengamatan Burung

Sekarang

mari kita mencari burung!

di kukuh cabang-cabang tinggi

di hutan ini,

Lapisan subur humus

di hampar dasar,

alam yang

basah.

Setetes embunkah setetes hujankah

cemerlang, menetes jatuh,

kerlap bintang memencil kecil

di sela daun-daun.

Tatkala hari pagi.

Bunda bumi

sejuk sekali.

Udara

seperti alir sungai

yang menyentak

sepi.

Ada aroma rosemary

di lapang udara

di lengang akar.

Di atas kepala,

lagu yang luar biasa.

Burungkah ia?

Alangkah

nyaring bunyi, meski

ronggak suara itu tak

selebih lebar jari.

Akankah ada luruh air

dari nyanyinya itu?

Betapa terang, betapa girang!

Tak kasat mata

bertenaga

menderas

mengalun musik

pada helai-helai daun.

Percakapan sakral!

Terbasuh bersih, terpugar segar.

Hari ini

pun menggema suara

seperti alun nada dulcimer* hijau.

Kukubur saja

sepatuku

di lekat lumpur

lalu melompati anak-anak sungai.

Ada duri

menusukku dan sesentak

hembus angin bagai

gelombang kristal

membuncah di dadaku.

Lalu, dimanakah

agaknya ia burung-burung itu?

Mungkun ia yang mendesau

di daun-daun?

Ataukah ia butir beludru coklat

yang turun beriring?

Ataukah wewangian

yang tak tergantikan? Daun itu

yang merelakan pergi aroma cinnamon

--- diakah burung itu? Debu itu

yang terlepas dari magnolia

atau buah itu

yang jatuh bergedebam ---

Apakah itu suara kepaka kibas sayap?

Oh, hewan-hewan mungil yang tak

tampak

burung-burung iblis

dengan denging nyaringnya

dengan bulu-bulu tak terpakai

Aku hanya ingin

memeluk mengelusnya!

Menyaksikannya megah berseri

Aku tak ingin melihat di balik kacamata

cahaya yang telah terawetkan.

Aku ingin melihat mereka hidup.

Aku ingin menyentuh bulu-buu

yang nyata tersembunyi,

yang tak kan pernah mereka lupakan

di cabang-cabang

dan berbincang dengan

mereka

hinggap duduk di bahuku

meskipun mereka terbang lagi

meninggalkanku bagai patung

yang tak semestinya terbalur pucat.

Mustahil

Engkau tak kan bisa menyentuh.

Engkau bisa mendengar mereka

seperti hinga, seperti gerak

yang memukai riang.

Mereka bercakap akrab

dengan ucap yang tertakar

mereka mengulang

apa yang mereka pandang.

Mereka membualkan

sebanyak apa yang bisa dilakukan.

Mereka menanggapi

pada apa saja yang ada.

Mereka telah mempelajari

ilmu yang terpasti

seperti hidrografi.

Dan dengan pengetahuan itu

mereka tahu

di manakah gerangan ladang

padi yang tengah matang.



---- dari sajak Ode to Bird Watching terjemahan Jodey Bateman dari sajak Pablo Neruda.



* a stringed instrument of trapezoidal shape played with light hammers held in the hands. (Merrriam-Webster Dictionary)

Yang Satu dan Yang Serupa

Ruang

       Ruang

Tak ada tengah, tak ada atas, tak ada bawah

Tak henti memusnah, lalu mencipta diri, sendiri

Ruang pusaran arus

       dan menetes jatuh ke tinggi puncak

Ruang

       Bening yang terkerat teramat curam

Tertangguhkan

       oleh sayap malam

Taman-taman hitam kristal batu pejal

Berbunga pada setangkai kabut kental

Taman-taman putih meledak marak di udara

Ruang

       sebuah ruang membuka

Mahkota bunga

       dan melarutkan

           ruang pada ruang

Semua entah, entah dimana entah kemana

Istana bagi ritual persuntingan tak ternalarkan.



-- dari sajak One and The Same, versi Inggris dari sajak Octavio Paz Lo Identico terjemahan Anton Webern.

Kelak Semua Orang Membaca Puisi Ini

karena telah kusimak dan kutuliskan

kata yang selalu rapat terahasiakan

sebelum jerit pertama tangis kelahiran



karena telah kuingat dan kucatatkan

kata yang selalu tak sempat tersebutkan

setelah hembus terakhir nafas kematian





sep2003



Monday, September 8, 2003

Tentang Seorang Tukang Pos Tua

TINGGAL sepucuk surat. Setelah kantong terpal

     tebal itu kosong dijemput alamat alamat.

     Tukang pos tua terus saja mengayuh pedal

     sepeda, sampai seseorang membubuhkan

     tanda tangan pada tanda terima. Ini surat

     tercatat. Seperti berabad lama. Tukang pos

     itu tak ingin merasa tua. Umurnya tak dicatat.



TINGGAL sepucuk surat. Dengan nama dan

     alamat yang seperti sangat dikenalnya. Dia

     sedang menuju kesana. Mengantarkan surat

     satu-satunya yang masih tersisa. Pasti si

     peneriman surat ini sedang menunggu di sana -

     begitulah selalu ada kalimat itu. Menyemangatinya.

     Meskipun kadang-kadang ada yang tak kurang

     bertata krama memaki makinya karena kiriman

     yang terlambat tiba. Kok belum diantar? Ini kan

     surat sangat kilat? Kok paketnya rusak? Bapak

     yang membukanya ya? Kok prangkonya dicopot?

     Ah begitu banyak kok yang membuatnya semakin tua.

     Siksa usia yang terus dilawannya.



TINGGAL sepucuk surat. Begitu ingin dia membukanya.

     Tapi itu tentus aja tidak akan pernah diperbuatnya.

     Melanggar kode etik profesinya. Melanggar sumpah.

     Hingga dia tua, dia sangat mencintai pekerjaan itu.

     Pengantar surat adalah pekerjaan sangat mulia.

     Dia muliakan dirinya dengan menjadi pengantar

     surat terbaik di kota ini. Ia bekejra 24 jam sehari

     semalam. Ia mengantar surat ke alamat alamat

     yang paling sulit dicapai pelayanan pos negeri ini.

     Tanpa tropi tanpa medali tanpa sertifikat penghargaan.

     Ia baktikan seluruh hidupnya sampai tua usianya.



TINGGAL sepucuk surat. Dan dia tiba-tiba teringat

     satu-satunya surat yang pernah ia terima. Surat

     panggilan kerja dari jawatan pos. Satu-satunya

     surat yang masih terlipat rapi di dompetnya. Tersimpan

     bersama kartu pengenal pegawai pos yang sangat

     dibanggakannya.



TINGGAL satu-satunya surat. Dengan nama dan alamat

     yang sangat dikenalnya. Sepertinya. Sepertinya. Dia sangat

     mengenal selok belok pelosok gang pojok kota ini. Seperti

     pernah diantarnya sepucuk surat ke alamat ini dulu. Tapi

     dia tak lagi percaya pada ingatannya yang tua. Tapi dia tak

     ingin menodai bertahun-tahun pengabdiannya dengan

     kesalahan karena tak berhasil mengantar satu-satunya

     yang saat itu tersisa.



sep 2003



Tiga Bait Kosong

/1/



bait bait kosong

sunyi panjang melolong

menyeru engkau aku

mengelak hendak tak hendak

menolak tiga talak:

    puisi telah mengikat akad,

    kita telah pun diperistri tekad.



/2/



selalu ada

bait bait kosong

sekosong subuh rongga dada

    minta diisi kata

    minta ditulisi tanda.



/3/



bait kosong

sekantong sekantong

kau aku terperangkap

di dalam dalamnya



menunggu datang kata

    yang dikata

    ujung pena.



sep2003



Saturday, September 6, 2003

Thursday, September 4, 2003

Kapan Kau Padamkan Tungku di Tungkai Kakimu?

sajak SRF*



setelah bait piano

dalam layar wayang pagi

kabut susut

dan embun berpecahan

di kusut serai



matamata mati

bilah rusuk yang rusak

akhirnya kau pergi

: memburu matahari



seperti tamu-tamu lainnya jua,

ternyata, yang datang ke mari,

ke rumah puisi



kau singgah hanya untuk merokok

sambil berolok-olok

lalu tiba-tiba merasa

dipojokkan oleh luka;

coklat tua



padahal belum

terangkum dendammu semalam,

tak terangkum,

di antara surup huruf,

lukakata,

dan kalap kalam

tapi barik-barik musik itu

akan segera usai,

dari mana barak sangsai

menyusun jeruji



''ya mahaspahani,

kapan kau padamkan tungku

di tungkai kakimu!''



* pemenggalan bait dan judul dari HA.

Tuesday, September 2, 2003

Catatan Seorang Pembuat Komik

SUDAH kuduga dia: tokoh komik yang baru saja

     terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat

     mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!

     Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang

     terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat

     pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3.





SIA-SIA bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah

     terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.

     AKu pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja

     yang selalu didekap dada - kadang di kepala. Ada

     skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan

     balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.

     "Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau

     sebenarnya hendak merantau kemana?" Siapa yang

     berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan

     kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.



AKU ternyata telah lama kehilangan rumah, karena

     telalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,

     juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari

     arsip, rancangan sampul. "Masih ingat? Di toko

     alat tulis mana terakhir kali engkau singgah?" Ah,

     sudah lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa

     membeli karet penghapus. Aku tidak detil dengan

     urusan kenangan dan daftar belanja.



MASIH juga, ada yang terus mengikuti langkahku.

     Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah

     melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan

     lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yang

     membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang

     terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi

     nama dan tanggal kematian. "Namamu sendiri,

     Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?"



Sep2003

Entah Kenapa Aku Tiba-tiba Ingin Menulis Puisi dan Marah-marah

Sajak Ramon Domora



          aku mencari situsku

          yang hilang di sini

          atau seseorang yang

          menantang untuk

          saling melupakan?




aku menunggumu

dalam tangis

anjing yang panjang



di matanya,

bulan warna perunggu

sebelum kabut buta

dikutuk ranjing ranjang



di beranda ini,

rindu adalah hantu

yang minta diantar pulang



dan rabu membiru

pada rak sepatu

menyusun sepi

sepasang-sepasang

Aku Merindukannya Lagi

Sajak Nanang Suryadi



asan,

udah dengar puisi

telah mati?



tubuhnya diusung

diarak sepanjang

jalan kota

dikabarkan

pamflet gelap



sebelum diperabukan

dengan upacara dengan

tarian yang tak pernah

kau lihat sebelumnya



abu puisi ditebar

di atas awan

di saat senja

di saat angin lirih menyapa

di saat gerimis

di saat kau ingin

menulis puisi



mungkin tardji

akan mengacungkan

kapaknya saat itu

sambil menzikirkan

: kalian pun,

kalian pun



dan aku?

mungkin mulai

merindukannya

lagi...

Monday, September 1, 2003

3 Pantun tak Tuntas

telah membusuk: setangkai sirih

kupetik pada cuaca yang salah

telah kau tusuk: sehunus pedih

ketika kau berbisik: "aku telah...."



sebelah pinang sekerat kenang

engkau sirih yang tak terkunyah

sembunyi di gelap selapis bayang

aku bertanya: "Engkaukah...."



berkanvas sirih engkau kulukis

berkuas jemari kulakar tatapku

bergegas sisa-sisa dengus kukais

sebelum nafas habis, lalu....

Senja Menganga

senja menganga

menelan sisa cahaya,

tak sempat bertanya



gelap mengendap

nafas malam tergagap

angin, sunyi tiarap



sep2003